HERALDJABAR, BANDUNG – Sidang perkara pidana Miming Theniko di Pengadilan Negeri Bandung digelar pada Kamis 10 Oktober 2024, saat tim kuasa hukumnya mengajukan eksepsi terhadap dakwaan jaksa yang dinilai tidak cermat dan prematur. Dakwaan tersebut dianggap kabur dan tidak memenuhi syarat sesuai KUHAP, sehingga tim kuasa hukum meminta agar surat dakwaan dibatalkan demi hukum.
Proses persidangan perkara pidana Miming Theniko di Pengadilan Negeri Bandung Kelas IA Khusus terus berlanjut, namun kali ini atmosfer semakin memanas ketika tim kuasa hukum terdakwa secara resmi mengajukan eksepsi (nota keberatan) terhadap surat dakwaan jaksa penuntut umum. Tim kuasa hukum yang terdiri dari 12 pengacara, termasuk Randy Raynaldo, S.H., dan Dr. Yopi Gunawan, S.H., M.H., M.M., C.Med., CTL., menilai bahwa dakwaan yang disusun jaksa penuh dengan ketidakcermatan, tidak lengkap, dan bahkan dianggap prematur.
Dalam eksepsi yang dibacakan di depan majelis hakim, tim kuasa hukum menyebutkan bahwa surat dakwaan yang disusun oleh Jaksa Penuntut Umum dalam perkara pidana No. 786/Pid.B/2024/PN.Bdg sangat tidak memenuhi syarat yang diatur dalam Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP. Mereka menyoroti bahwa surat dakwaan tidak menguraikan peristiwa hukum secara cermat, jelas, dan lengkap, serta sarat dengan ketidakcermatan dalam penyajian fakta dan jumlah kerugian yang dialami pelapor.
Dakwaan Kabur
Salah satu poin utama dalam eksepsi yang disampaikan oleh tim kuasa hukum adalah ketidakjelasan dakwaan yang diajukan oleh jaksa. Jaksa menuduh Miming Theniko melakukan tindak pidana penipuan berdasarkan Pasal 378 KUHP dan penggelapan berdasarkan Pasal 372 KUHP. Namun, dakwaan tersebut dianggap kabur karena tidak menjabarkan peristiwa hukum yang sebenarnya terjadi dalam kurun waktu yang disebutkan, yaitu antara tahun 2017 hingga 2021.
“Dakwaan yang disusun jaksa sangat tidak cermat. Fakta-fakta penting terkait peristiwa di tahun 2019 dan 2020 tidak dijelaskan secara utuh. Ini jelas tidak memenuhi syarat kelengkapan sebagaimana diatur dalam Pasal 143 ayat (2) KUHAP,” ujar Randy Raynaldo, S.H., kuasa hukum terdakwa.
Menurut kuasa hukum, jaksa hanya menjelaskan peristiwa yang terjadi pada tahun 2017 dan 2021, namun mengabaikan fakta-fakta penting pada tahun 2019 dan 2020. Ini membuat dakwaan menjadi tidak jelas dan tidak dapat dijadikan dasar pemeriksaan lebih lanjut.
Manipulasi Data
Selain masalah ketidakjelasan fakta, tim kuasa hukum juga menuding bahwa jaksa melakukan manipulasi data terkait jumlah kerugian yang dialami pelapor, The Siauw Tjhiu, yang juga merupakan saudara sepupu terdakwa. Dalam surat dakwaan, jaksa menyebutkan bahwa kerugian yang dialami pelapor mencapai Rp100 miliar. Namun, di bagian lain, disebutkan bahwa total uang yang ditransfer pelapor kepada terdakwa dari April 2017 hingga Januari 2018 mencapai Rp100.138.885.100, dan terdapat juga klaim bahwa pelapor mengalami kerugian sebesar Rp65.854.439.751 dari cek kosong yang diterbitkan oleh terdakwa.
“Bagaimana mungkin dakwaan bisa menyebutkan tiga angka kerugian yang berbeda tanpa ada kejelasan yang pasti? Ini jelas menunjukkan bahwa dakwaan ini disusun dengan ketidakcermatan dan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip hukum yang berlaku,” tegas Dr. Yopi Gunawan, S.H., M.H., M.M., salah satu penasihat hukum terdakwa.
Lebih jauh lagi, tim kuasa hukum menyoroti bahwa jaksa dalam dakwaannya bahkan menyebut jumlah kerugian dengan frasa “atau setidak-tidaknya sekitar jumlah itu.” Mereka menilai bahwa ini menunjukkan bahwa jaksa tidak yakin dengan angka yang disebutkan, sehingga surat dakwaan menjadi kabur (obscuur libel) dan tidak bisa dijadikan dasar untuk menuntut terdakwa.
Sengketa Perdata
Poin penting lainnya yang disampaikan dalam eksepsi adalah adanya sengketa perdata yang sedang berlangsung antara Miming Theniko dan pelapor, The Siauw Tjhiu, yang seharusnya diselesaikan terlebih dahulu sebelum proses pidana dilakukan. Sengketa tersebut terdaftar dalam nomor perkara No. 267/Pdt.G/2024/PN.Bdg di Pengadilan Negeri Bandung. Tim kuasa hukum menilai bahwa kasus pidana ini prematur karena objek sengketa perdata belum mendapatkan putusan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht).
“Kami mendesak agar proses pidana ini dihentikan sementara sampai sengketa perdata diselesaikan. Ini sesuai dengan ketentuan Pasal 81 KUHP yang mengatur penundaan penuntutan pidana jika ada sengketa perdata yang belum selesai,” jelas Randy Raynaldo, S.H.
Tim kuasa hukum juga mengingatkan prinsip ultimum remedium dalam hukum pidana, yang menegaskan bahwa pemidanaan harus menjadi jalan terakhir setelah semua upaya hukum perdata dan administratif dilakukan. Oleh karena itu, mereka meminta majelis hakim untuk mempertimbangkan eksepsi ini dengan serius.
Dakwaan Minta Dibatalkan
Sebagai penutup, tim kuasa hukum Miming Theniko meminta majelis hakim untuk membatalkan surat dakwaan jaksa demi hukum karena dianggap tidak cermat, tidak jelas, dan penuh dengan ketidakpastian. Mereka juga mendesak agar perkara ini tidak dilanjutkan sampai adanya putusan tetap dari pengadilan perdata yang sedang berjalan.
“Kami berharap majelis hakim yang mulia mempertimbangkan eksepsi ini dan memutuskan bahwa surat dakwaan yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum batal demi hukum. Dakwaan ini sangat prematur dan tidak memiliki dasar yang kuat untuk diteruskan,” tutup Dr. Yopi Gunawan.
Sidang berikutnya akan dijadwalkan untuk mendengarkan tanggapan dari Jaksa Penuntut Umum atas eksepsi yang diajukan oleh tim kuasa hukum terdakwa. Perkembangan lebih lanjut dari kasus ini akan menjadi sorotan, mengingat tingginya nilai kerugian yang dituduhkan serta kompleksitas masalah hukum antara kedua pihak.***