HERALDJABAR, BANDUNG – Persidangan lanjutan kasus dugaan korupsi proyek Pasar Cigasong, Majalengka, kembali memanas pada Senin (14/10/2024) di Pengadilan Tipikor Bandung. Drama sidang dimulai ketika terdakwa Irfan Nur Alam berusaha meminta kepada majelis hakim memutar rekaman yang diyakini akan membuktikan bahwa dirinya tidak menerima uang suap Rp 1 miliar. Namun, jaksa menolak pemutaran rekaman ini.
Sidang yang berlangsung sejak siang hingga malam ini juga mengungkap fakta baru terkait catatan fiktif yang digunakan jaksa sebagai bukti. Dalam catatan tersebut, disebutkan bahwa Irfan Nur Alam menerima aliran dana sebesar Rp 1,9 miliar dari PT Purna Graha Abadi (PT PGA), tetapi fakta di persidangan justru membantah hal tersebut.
Rekaman Penolakan Uang
Dalam persidangan yang dipimpin oleh Hakim Panju Surono, Irfan Nur Alam, yang menjadi salah satu terdakwa, meminta izin untuk memutar rekaman percakapan antara dirinya dengan H. Endang Rukanda. Percakapan ini diduga akan membuktikan bahwa Irfan menolak uang sebesar Rp 1 miliar yang ditawarkan oleh H. Endang kepada Pemerintah Daerah (Pemda) Majalengka dan dirinya.
Namun, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menolak pemutaran rekaman tersebut. “Kami memang menyitanya, tetapi tidak untuk diputarkan sekarang. Nanti saja saat pemeriksaan terdakwa,” ujar JPU di hadapan majelis hakim. Alasan ini dianggap janggal oleh tim pembela, karena rekaman tersebut seharusnya menjadi bukti penting dalam pembelaan Irfan.
Catatan Fiktif
Selain penolakan pemutaran rekaman, persidangan ini juga mengungkap fakta menarik terkait catatan fiktif yang ditemukan dalam flashdisk dan rekaman percakapan di hP yang disita oleh jaksa. Dalam catatan tersebut, disebutkan bahwa Irfan Nur Alam menerima dana sebesar Rp 1,9 miliar dari PT PGA. Namun, saksi dari PT PGA, Namina Nani Rosmiati, membantah kebenaran catatan tersebut.
“Catatan itu adalah kebohongan yang dibuat oleh Andi Nurmawan, bukan laporan keuangan yang sah,” tegas Namina. Dia menjelaskan bahwa catatan tersebut tidak mencerminkan kenyataan, dan uang yang tercatat masuk kepada Andi Nurmawan, bukan Irfan Nur Alam. Namina juga menekankan bahwa catatan tersebut tidak logis, karena inisial ‘IN’ dalam catatan bukan merujuk kepada Irfan, melainkan singkatan dari ‘masuk’ yang berarti dana masuk ke Andi Nurmawan.
Menambah keraguan atas dakwaan jaksa, PT PGA telah menunjuk Kantor Akuntan Publik Rudi Sanudin untuk melakukan audit forensik atas penggunaan dana oleh Andi Nurmawan. Hasil audit tersebut mengungkapkan bahwa tidak ada aliran dana sebesar Rp 1,9 miliar yang mengalir ke Irfan Nur Alam maupun terdakwa lain, Arsan Latif.
Berdasarkan hasil audit, PT PGA dan Andi Nurmawan bahkan telah mencapai kesepakatan damai. Kesepakatan ini mempertegas bahwa kasus ini lebih merupakan masalah internal perusahaan, bukan tindak pidana korupsi. Hal ini semakin memperlemah dakwaan yang diajukan oleh Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Barat.
Ditolak Jaksa
Menariknya, meskipun PT PGA telah mengajukan dokumen kesepakatan damai yang berisi hasil audit, surat pengakuan hutang, dan mutasi rekening sebagai bukti, jaksa menolak dokumen tersebut. Jaksa berpendapat bahwa dokumen ini tidak layak untuk disidangkan dalam kasus tindak pidana korupsi. Keputusan ini memicu kritik dari tim pembela, yang menganggap dakwaan jaksa semakin tidak memiliki dasar kuat.
Dalam persidangan juga terungkap bahwa uang yang diterima oleh Andi Nurmawan sebesar Rp 4,09 miliar, bukan Rp 7,58 miliar seperti yang disebutkan dalam dakwaan. Fakta ini membuat banyak pihak bertanya-tanya mengenai keabsahan bukti yang digunakan oleh jaksa.
Setelah berbagai fakta mencengangkan yang terungkap dalam sidang ini, hakim memutuskan untuk menunda persidangan hingga pekan depan. Sidang selanjutnya akan memeriksa lebih lanjut bukti-bukti yang diajukan, termasuk kemungkinan diputarnya rekaman percakapan yang sebelumnya ditolak jaksa.
Sidang ini telah menarik perhatian besar dari masyarakat, yang semakin penasaran dengan perkembangan kasus ini. Fakta-fakta yang berlawanan dengan dakwaan jaksa menjadikan kasus ini semakin menarik untuk diikuti.***