HERALDJABAR, BANDUNG – Mantan Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kabupaten Sumedang, Ade Setiawan, menghadapi pemeriksaan intensif dalam sidang kasus dugaan korupsi pengadaan lahan proyek Tol Cisumdawu. Proyek ini diduga menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 329 miliar, dan Ade menjadi salah satu tokoh yang disorot dalam proses hukum yang berlangsung di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Bandung pada Rabu, 30 Oktober 2024. Sidang ini juga menghadirkan empat terdakwa yang memiliki peran signifikan dalam pengadaan lahan proyek tol yang berstatus proyek strategis nasional.
Ade Setiawan dihadapkan pada rentetan pertanyaan dari hakim, jaksa, dan kuasa hukum mengenai prosedur perizinan lahan untuk PT Priwista Raya, sebuah perusahaan swasta milik terdakwa Dadan Setiadi Megantara. Selain Dadan, terdakwa dari unsur pemerintah yang turut diperiksa antara lain Atang Rahmat (anggota Tim P2T, pegawai BPN), Agus Priyono (Ketua Satgas B Tim P2T, pegawai BPN), Mono Igfirly (pejabat di Kantor Jasa Penilai Publik/KJPP), dan Mushofah Uyun yang merupakan Kepala Desa Cilayung.
Pada persidangan, hakim Agus Kamaarudin beberapa kali memperlihatkan dokumen yang menunjukkan tanda tangan Ade dalam proses perizinan lokasi bagi PT Priwista pada tahun 2014. Anehnya, Ade menyangkal mengetahui perihal proses pengurusan izin tersebut. “Saya tidak tahu bagaimana prosesnya. Izin itu memang terbit, tapi saya tidak terlibat dalam pembuatannya,” kata Ade, yang langsung mendapat serangan balik dari hakim dan jaksa.
Ade Setiawan berdalih bahwa dirinya tidak pernah terlibat dalam proses teknis perizinan sejak izin prinsip pertama kali diterbitkan pada 1994 dan perpanjangan pada 2014. Menurutnya, instansinya hanya berperan dalam pengesahan administrasi tanpa ada keterlibatan langsung. Namun, sangkalan Ade ini justru semakin memperkeruh situasi dan menimbulkan kecurigaan hakim. “Bahaya kalau seorang kepala dinas tidak tahu apa-apa soal izin yang diterbitkan instansinya sendiri,” sindir hakim Agus dengan nada sinis.
Dalam dakwaannya, jaksa menjelaskan bahwa setelah penetapan lokasi proyek Tol Cisumdawu pada tahun 2005, seharusnya tidak ada lagi izin yang memungkinkan pengalihan hak atas tanah di jalur tersebut. Namun, PT Priwista justru mendapatkan izin prinsip dan izin lokasi yang diperpanjang pada 2014 oleh Pemkab Sumedang. Hal ini diduga membuka jalan bagi Dadan Setiadi sebagai penerima ganti rugi pemerintah dengan nilai fantastis mencapai Rp 320 miliar.
Dadan, yang sejak 1995 sudah memegang izin prinsip untuk membangun perumahan di Sumedang, kemudian menambah kepemilikan tanah yang sebagian besar adalah tanah adat yang diubah statusnya menjadi hak guna bangunan. Ketika tanah tersebut masuk ke dalam rencana jalur Tol Cisumdawu, Dadan langsung mengajukan klaim ganti rugi dan disetujui. Sayangnya, tanah tersebut terindikasi tumpang tindih dengan klaim pihak lain, sehingga terjadi sengketa dan dana ganti rugi akhirnya dititipkan di Pengadilan Negeri Sumedang.
Jaksa Penuntut Umum, Arlin Aditya, menyoroti kejanggalan dalam proses perizinan ini, menegaskan bahwa ada dugaan perbuatan melawan hukum yang berakibat pada kerugian negara. “Ganti rugi yang diberikan pada pihak yang seharusnya tidak berhak menyebabkan negara rugi sebesar Rp 329 miliar. Uang ganti rugi kini disimpan di bank BTN dalam skema konsinyasi di Pengadilan Negeri Sumedang,” ujar Arlin.
Sidang hari itu juga menghadirkan saksi-saksi dari beberapa instansi terkait, termasuk Nurcholis dari BPN, Tono Suhartono dari Dinas PUPR, dan Sofyan Kertadibja dari panitia pengadaan tanah. Mayoritas saksi menyatakan bahwa mereka tidak mengetahui penetapan lokasi untuk proyek Tol Cisumdawu hingga mereka dipanggil oleh kejaksaan. Ketidaktahuan ini memperlihatkan adanya dugaan kuat bahwa proses perpanjangan izin lokasi dan izin prinsip dilakukan tanpa koordinasi yang memadai dengan lembaga terkait.
Kuasa hukum terdakwa Dadan, Jainal RF Tampubolon, menegaskan bahwa kliennya mengajukan izin sesuai dengan Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), yang memang mengatur area tersebut untuk pemukiman. “Izin yang diajukan Dadan sudah sesuai peruntukan dalam RTRW,” tegas Jainal, mempertahankan bahwa kliennya tidak bersalah dalam kasus ini.
Dugaan korupsi proyek Tol Cisumdawu, yang semula dianggap sebagai upaya perbaikan infrastruktur, kini berubah menjadi polemik besar dengan potensi dampak signifikan bagi negara. Dengan banyaknya pihak yang mengaku tidak tahu-menahu dalam proses perizinan, sidang kasus ini terus menyoroti dugaan keterlibatan dan kelalaian beberapa instansi di Sumedang. Arlin menegaskan, “Kasus ini harus diusut tuntas demi menyelamatkan uang negara yang seharusnya tidak jatuh ke tangan yang tidak berhak.”
Pengadilan Tipikor Bandung dijadwalkan melanjutkan sidang ini dalam beberapa minggu ke depan untuk menggali lebih dalam peran masing-masing terdakwa dalam dugaan korupsi yang telah menggemparkan publik.***