HERALDJABAR, BANDUNG – Kasus dugaan korupsi dalam proyek Tol Cisumdawu kembali memanas di ruang sidang. Pada Rabu (13/11/2024), hadir saksi ahli agraria, Prof. Dr. Nia Kurniati, yang mengungkap ketidakjelasan aturan hukum terkait penetapan lokasi (penlok) lahan dan hak ganti rugi, mengisyaratkan celah yang bisa merugikan pemilik lahan maupun negara.
Dalam keterangannya, Prof. Nia menjelaskan bahwa lahan yang sudah masuk penlok seharusnya tidak dapat dialihkan, kecuali dengan negara. Namun, ketika jaksa menanyakan dasar hukum yang secara eksplisit melarang peralihan tersebut, Prof. Nia mengaku tidak mengetahui aturan hukum tertulisnya.
“Saya berpandangan ini secara logika saja, namun secara yuridis, saya tidak tahu aturan eksplisit yang mengatur larangan tersebut,” kata Prof. Nia, menekankan posisinya sebagai akademisi dengan pendekatan sosiologis.
Penlok Tanpa Trase: Boleh Dijual atau Tidak?
Majelis hakim kemudian mempertanyakan apakah pemilik lahan dapat menjual tanahnya jika belum ada trase atau jalur tol di area yang sudah ditetapkan sebagai penlok. Menjawab pertanyaan ini, Prof. Nia menyebut secara logika penjualan tanah masih dimungkinkan, karena kepastian hukum mengenai jalur tol belum ada. Hal ini menimbulkan dilema bagi pemilik lahan yang terjebak antara hak kepemilikan dan larangan penlok.
Pembelaan Terdakwa Soroti Celah Hukum
Kuasa hukum Dadan Setiadi Megantara, salah satu terdakwa, mengkritik keterangan saksi ahli yang dinilai belum menjawab tumpang tindih antara izin perumahan yang sudah ada dan penlok tol. “Keterangan saksi ahli belum memadai dalam menjawab konflik antara izin lokasi perumahan dan penlok tol. Keduanya bertentangan dan saling tumpang tindih, menciptakan ketidakpastian hukum,” ujar Febri Hendarjat, kuasa hukum Dadan.
Kronologi Skandal Korupsi: Rp 329 Miliar di Tengah Ketidakpastian Regulasi
Kasus ini bermula saat Dadan Setiadi, pengusaha properti, mengajukan izin lahan perumahan yang kemudian masuk dalam penlok Tol Cisumdawu. Pada 2018, pemerintah menetapkan ganti rugi sebesar Rp 329 miliar untuk lahan miliknya yang terkena trase tol. Namun, uang ganti rugi tersebut belum cair karena adanya klaim dari pihak lain. Meski begitu, Dadan kini menghadapi tuntutan hukum atas dugaan korupsi, sementara uang ganti rugi masih tersimpan di rekening pengadilan.
Reformasi Aturan Agraria Diperlukan
Sidang ini menyoroti kebutuhan akan reformasi regulasi lahan dalam proyek strategis nasional untuk menghindari ketidakpastian hukum. Kasus Tol Cisumdawu menjadi pengingat pentingnya kejelasan hukum untuk memastikan hak pemilik lahan terlindungi dan mencegah potensi kerugian negara.***