HERALDJABAR, BANDUNG—Sidang kasus korupsi pembangunan Gedung Galeri Seni Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung kembali memanas. Dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Bandung pada Selasa (3/12/2024), Prof. Dr. Hj. Een Herdiani, mantan Rektor ISBI, mengakui tanggung jawabnya sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) namun tidak lepas dari kritik atas lemahnya pengawasan yang berujung pada kerugian negara dan ancaman pembongkaran gedung.
Kelalaian di Balik Proyek Bermasalah
Proyek pembangunan gedung senilai Rp 4 miliar yang dimulai pada 2015 ini dirancang dengan konsep seni berbentuk gendang. Namun, perencanaan dan eksekusinya dinilai asal-asalan tanpa melibatkan ahli teknik sipil. Akibatnya, struktur bangunan dinyatakan tidak layak pakai dan direkomendasikan untuk dibongkar.
“Saya bertanggung jawab secara administratif sebagai KPA, tetapi pengawasan teknis saya serahkan sepenuhnya kepada PPK. Saya hanya menerima laporan progres secara berkala,” ungkap Een di depan majelis hakim yang dipimpin oleh M. Syarif.
Namun, jaksa menyoroti ketidakmampuan Een mengambil langkah tegas saat proyek berjalan. Salah satu temuan utama adalah kedalaman pondasi hanya 3,25 meter, jauh di bawah standar minimum 6 meter, yang menyebabkan kegagalan struktur konstruksi.
Dakwaan Berat untuk Tersangka
Kejaksaan telah menetapkan dua tersangka dalam kasus ini, yaitu Asep Wawan Ridwan, mantan PPK ISBI Bandung, dan Bennatyar, Direktur PT YPU selaku kontraktor. Keduanya didakwa merugikan negara hingga Rp 538 juta melalui manipulasi spesifikasi bangunan, pengurangan volume pekerjaan, dan penggunaan bahan berkualitas rendah.
Jaksa menegaskan bahwa keduanya tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga mencoreng kepercayaan publik terhadap institusi pendidikan. “Peran mereka dalam proyek ini telah menimbulkan kerugian besar, baik secara finansial maupun reputasi,” kata jaksa dalam persidangan.
Bangunan Senilai Miliar Rupiah Direkomendasikan Dibongkar
Gedung Galeri Seni ISBI, yang seharusnya menjadi ikon seni dan budaya, kini menjadi simbol buruknya manajemen proyek. Rekomendasi pembongkaran gedung mencerminkan betapa parahnya kegagalan proyek ini.
“Bangunan ini tidak hanya tidak layak digunakan, tetapi juga berisiko tinggi terhadap keselamatan. Ini adalah bukti nyata dari kelalaian kolektif dalam perencanaan dan pelaksanaan proyek,” ujar salah satu ahli konstruksi yang dihadirkan sebagai saksi.
Integritas di Titik Nadir
Kasus ini menguak bobroknya pengelolaan proyek publik yang hanya berfokus pada estetika tanpa memperhatikan aspek teknis dan keselamatan. Pengakuan Een Herdiani bahwa ia tidak melakukan pemeriksaan langsung ke lapangan semakin memperjelas lemahnya sistem pengawasan dalam proyek ini.
“Pengawasan bukan hanya formalitas. Jika KPA tidak mampu memastikan proyek berjalan sesuai rencana, dampaknya seperti ini—kerugian besar dan bangunan yang tidak dapat digunakan,” kritik jaksa.
Dampak bagi ISBI dan Kepercayaan Publik
Kasus ini mencoreng nama ISBI Bandung sebagai lembaga pendidikan seni yang seharusnya menjadi teladan dalam pengelolaan dana publik. Masyarakat menuntut transparansi dan langkah tegas dalam menyelesaikan kasus ini hingga tuntas.
“Institusi pendidikan seperti ISBI harus menunjukkan integritas. Kasus ini menjadi bukti bahwa manajemen yang buruk dan korupsi bisa merusak kepercayaan masyarakat,” kata seorang pemerhati pendidikan.
Sidang berikutnya akan menghadirkan saksi tambahan untuk memperkuat dakwaan terhadap para tersangka. Keputusan akhir dari kasus ini akan menentukan masa depan proyek Gedung Galeri Seni ISBI—apakah dibangun ulang atau dihentikan sepenuhnya.
Dengan sorotan publik yang semakin besar, kasus ini menjadi pengingat keras bahwa pengelolaan anggaran publik membutuhkan transparansi, tanggung jawab, dan pengawasan ketat untuk mencegah terulangnya kegagalan seperti ini.***