HERALD JABAR, BANDUNG — Gugatan Rp24 miliar yang diajukan oleh Hendrew Sastra Husnandar terhadap dr. Norman Miguna menuai sorotan publik. Dua hal yang menjadi perhatian besar dalam kasus ini adalah susunan majelis hakim Pengadilan Negeri Bandung (PN Bandung) yang tak berubah, itu itu aja dari kasus-kasus sebelumnya serta dasar gugatan yang dinilai tidak masuk akal, yaitu pemberitaan media.
Hakim Tak Berubah, Netralitas Dipertanyakan
Salah satu kejanggalan yang disorot oleh kuasa hukum dr. Norman, Tomson Panjaitan, SH., adalah kehadiran majelis hakim PN Bandung yang sama pada tiga perkara berbeda. Nama-nama seperti Tuty Haryati dan Dalyusra kembali muncul dalam susunan majelis hakim yang menangani perkara kali ini. Menurut Tomson, kehadiran hakim yang sama dalam beberapa kasus ini menimbulkan dugaan ketidaknetralan dalam proses pengambilan keputusan.
“Kami sudah tiga kali menghadapi gugatan dari Hendrew dengan perkara yang berbeda, tetapi majelis hakimnya itu-itu saja. Kami bahkan telah mengajukan permohonan agar majelis hakim diganti, tetapi tidak pernah ada tanggapan dari pihak pengadilan,” tegas Tomson.
Kritik ini bukan tanpa alasan. Dalam dua kasus sebelumnya, pihak Hendrew disebut selalu diuntungkan dengan putusan majelis hakim. Tomson menilai, proses peradilan seharusnya menjunjung prinsip independensi dan imparsialitas. Ketika majelis hakim yang menangani perkara tidak berubah, potensi konflik kepentingan pun menjadi kekhawatiran.
Menurut Tomson, sudah seharusnya ada penggantian hakim dalam setiap proses gugatan, terutama jika pihak-pihak yang bersengketa adalah orang yang sama. Jika tidak, hal ini bisa memunculkan asumsi publik bahwa ada kepentingan tertentu dalam perkara tersebut.
“Jika hakimnya terus sama, bagaimana kita bisa yakin dengan keadilan? Peradilan itu harus bersih, jernih, dan bebas dari konflik kepentingan,” ujar Tomson dengan nada tegas.
Alasan Gugatan Tak Masuk Akal
Selain keanehan soal hakim, dasar gugatan Rp24 miliar yang diajukan Hendrew juga menjadi sorotan. Tomson menyebut gugatan ini sebagai hal yang “tidak masuk akal” karena pemberitaan media dijadikan dasar klaim kerugian hingga miliaran rupiah.
Menurut Tomson, pemberitaan media yang dimaksud adalah informasi yang muncul saat Hendrew berstatus terdakwa dalam kasus pidana perusakan pagar milik dr. Norman. Dalam proses tersebut, berbagai media melaporkan kasus tersebut sesuai fakta persidangan.
“Betapa banyak terdakwa yang diberitakan media di negeri ini. Kalau pemberitaan media dijadikan alasan gugatan, maka ini preseden buruk. Bisa-bisa, semua terdakwa di Indonesia menggugat media yang memberitakannya,” ujar Tomson.
Lebih lanjut, Tomson menjelaskan bahwa dasar gugatan Hendrew adalah kerugian yang ia klaim muncul akibat putusnya hubungan dengan mitra bisnis. Hendrew mengklaim, setelah berita tentang dirinya muncul di media, beberapa rekan bisnisnya menarik diri dan memutuskan hubungan kerja sama.
Namun, Tomson menegaskan bahwa tidak ada penjelasan yang jelas soal bagaimana kerugian Rp24 miliar itu dihitung.
“Tidak jelas dari mana angka Rp24 miliar itu muncul. Apakah ada hitungan dari akuntan, atau sekadar asumsi dari pihak penggugat? Ini harus diperjelas,” kata Tomson.
Risiko Kebebasan Pers Terancam
Dasar gugatan yang mengacu pada pemberitaan media ini berpotensi memunculkan preseden buruk bagi kebebasan pers di Indonesia. Jika gugatan ini dimenangkan, maka setiap pemberitaan terkait terdakwa bisa menjadi ancaman bagi media.
Kasus ini bukan sekadar soal sengketa pribadi, tetapi juga soal kebebasan media dalam memberitakan proses hukum. Jika pemberitaan di media dijadikan alasan gugatan, maka independensi pers dalam menjalankan fungsi kontrol sosial bisa terancam.
Media bekerja sesuai fakta persidangan dan memberitakan sesuai kode etik jurnalistik. Kalau pemberitaan itu bisa digugat, maka media akan selalu di bawah ancaman gugatan dari para terdakwa.
Sebagai pengacara, Tomson mengingatkan bahwa pemberitaan tentang terdakwa adalah bagian dari proses hukum yang terbuka untuk publik. Pengadilan bersifat terbuka dan publik berhak tahu tentang proses hukum yang berjalan.
Sita Jaminan Tanpa Dasar yang Jelas
Keanehan lainnya adalah keputusan majelis hakim yang memerintahkan sita jaminan terhadap rumah dan tanah milik dr. Norman. Tomson menyebut langkah ini tidak masuk akal karena objek yang disita tidak ada kaitannya dengan gugatan Rp24 miliar yang diajukan oleh Hendrew.
“Sita jaminan seharusnya dilakukan terhadap aset yang relevan dengan perkara, tetapi kali ini rumah dan tanah milik klien kami justru disita tanpa dasar yang jelas,” protes Tomson.
Lebih anehnya lagi, surat penetapan sita jaminan tersebut tidak pernah diterima oleh pihak tergugat. Tomson merasa ini adalah pelanggaran prosedur yang serius. Seharusnya, surat penetapan disampaikan kepada pihak tergugat agar dapat melakukan upaya hukum yang sesuai.
“Kami hanya tahu dari informasi lisan, dan sampai hari ini kami belum menerima salinan surat penetapan sita jamin. Bagaimana mungkin sebuah putusan bisa dilaksanakan tanpa sepengetahuan pihak tergugat?” keluh Tomson.
Harapan Akan Putusan yang Adil
Dengan berbagai kejanggalan yang terjadi dalam proses ini, pihak dr. Norman berharap majelis hakim yang diketuai oleh Tuty Haryati dapat bersikap obyektif dan adil. Tomson yakin, jika majelis hakim mempertimbangkan semua bukti dan fakta hukum, maka keadilan akan berpihak pada kliennya.
“Kami yakin, jika majelis hakim melihat perkara ini secara jernih, mereka akan melihat bahwa dasar gugatan ini sangat lemah. Gugatan tanpa dasar yang jelas seharusnya ditolak,” ucap Tomson.
Ia juga mengingatkan bahwa prinsip keadilan adalah memberikan putusan yang tidak hanya adil bagi penggugat, tetapi juga untuk tergugat. Tomson percaya, prinsip ini akan menjadi pegangan utama bagi majelis hakim.
Kasus ini mengundang perhatian publik karena dua alasan utama: susunan majelis hakim yang tak berubah serta dasar gugatan yang dianggap tak masuk akal, yaitu pemberitaan media. Jika kedua hal ini tidak diperjelas, kepercayaan publik terhadap sistem peradilan dapat tergerus.
Dasar gugatan yang hanya mengandalkan pemberitaan media berpotensi mengancam kebebasan pers dan membatasi peran media dalam melaporkan proses hukum. Selain itu, pengulangan majelis hakim yang sama dalam beberapa kasus yang melibatkan pihak yang sama juga menimbulkan pertanyaan besar soal independensi dan imparsialitas peradilan.
“Kalau setiap terdakwa bisa menggugat media hanya karena diberitakan, maka kita akan hidup dalam ketakutan. Tidak ada lagi kebebasan pers, dan media akan ragu-ragu dalam meliput proses pengadilan,” tutup Tomson.
Kronologi
Tomson pun menceritakan perseteruan antara klien kami dr Norman dan Hendrew Sastra (penggugat) berawal dari tergugat memiliki tanah yang beralamat di Jalan Surya Sumantri Kota Bandung yang dibeli tergugat pada tahun 1978 seluas 1.260 meter persegi.
Tanah tersebut kemudian dipagar oleh klien kami dr Norman, jarak pagar dengan jalan sekitar 5 meter dari badan jalan. Kemudian tahun 2006 telah terjadi pembangunan benteng diatas tanah yang berada didepan tanah milik Norman, sehingga benteng tersebut menutup akses jalan masuk dan keluar dari tanah milik Norman.
Atas dasar penutupan tersebut, pihak Norman mengajukan gugatan, dan gugatan tersebut kemudian dikabulkan dengan memberikan akses jalan selebar 4 meter dan telah dieksekusi oleh Pengadilan Negeri Bandung diberikan untuk akses jalan keluar masuk ke Jalan Raya Surya Sumantri dari tanah tergugat.
Namun setelah pelaksanan eksekusi terjadi penghalangan jalan keluar masuk ke tanah milik dr Norman, dimana penggugat membangun gerai Burger Bangor lantai dua dan merusak (merobohkan) pagar milik dr Norman dipintu masuk tersebut, atas dasar perusakan itu Norman menempuh jalur hukum dengan melaporkan Hendrew secara pidana dan proses hukum pun berlanjut sampai ke persidangan.
Saat Hendrew jadi terdakwa, muncul pemberitaan dari berbagai media dan pada tingkat pengadilan negeri Bandung oleh majelis hakim Hendrew dinyatakan terbukti melakukan pengrusakan namun bukan merupakan tindak pidana, majelis hakim menyatakan melepaskan Hendrew dari segala tuntutan hukum (onslag van alle rechtsvervolging) .
“Kemudian atas vonis tersebut, jaksa penuntut umum dari Kejati Jabar melakukan kasasi. Dalam putusan kasasi menyatakan terdakwa, Hendrew terbukti melakukan perbuatan melawan hukum dengan vonis percobaan,” kata Tomson.
Atas dasar pemberitaan diberbagai media selama Hendrew menjadi terdakwa, menurut Hendrew pemberitaan tersebut merugikan pihaknya, diantaranya rekan bisnisnya memutuskan hubungan sehingga menimbulkan kerugian, menurut versi gugatan senilai Rp 24 miliar. “Itupun tidak jelas dasar munculnya kerugian tersebut,” katanya.
Jadi menurut hemat kami, gugatan atau pun kerugian yang timbul itu, dijadikan dasar diajukan gugatannya terhadap klien kami, tidak masuk akal. Betapa banyaknya terdakwa di negara ini udah diberitakan berbagai media, jika dijadikan alasan menimbulkan kerugian dan diajukan gugatan. Ini jadi preseden buruk dalam penegakan hukum. “Mau dibawa kemana hukum di republik ini? ujarnya.
Oleh karena itu kami meyakini jika majelis hakim yang diketuai Tuty Haryati melihat perkara ini secara jernih menurut hukum, maka akan menjatuhkan putusan yang adil.
Preseden Buruk Penegakan Hukum
Kasus ini tidak hanya soal gugatan Rp24 miliar, tetapi juga soal keadilan, independensi peradilan, dan kebebasan pers. Jika putusan ini memenangkan pihak penggugat, maka setiap media yang memberitakan proses pengadilan bisa digugat.
Publik menanti keberanian majelis hakim dalam membuat keputusan yang adil, tanpa tekanan dari pihak manapun. Keputusan ini bukan hanya berdampak pada dr. Norman, tetapi juga pada seluruh elemen pers di Indonesia.***