HERALDJABAR.ID, Bandung – Kota Bandung terus berkembang pesat dalam berbagai sektor, termasuk ekonomi, infrastruktur, dan jumlah penduduk.
Namun, perkembangan ini juga menghadirkan tantangan besar, salah satunya adalah penyalahgunaan ruang publik, terutama trotoar yang seharusnya diperuntukkan bagi pejalan kaki.
Sebelumnya kajian kami mengungkap bahwa trotoar di Bandung kerap disalahgunakan untuk kepentingan pribadi, seperti parkir kendaraan, pembangunan kios, hingga kegiatan komersial lainnya. Akibatnya, kenyamanan dan keselamatan pejalan kaki terabaikan, padahal hak mereka telah diatur dalam Peraturan Kota Bandung No. 11 Tahun 2005 Pasal 49 (1) yang melarang penggunaan trotoar untuk kegiatan bisnis tanpa izin.
Pelaksanaan eksekusi pelanggaran Garis Sempadan Bangunan (GSB) tersebut selain menunjukan penegakan hukum dan keadilan bagi Warga Kota Bandung yang terdampak sekaligus menjaga citra Pemerintah Kota Bandung dan keseriusan Pemerintah Kota Bandung dalam mengakomodir kepintingan pejalan kaki maupun menunjukan adanya kesetaraan terhadap segala bentuk pelanggaran dan tidak ada keberpihakan terhadap pihak-pihak tertentu.
Menurut Andre Sihotang perwakilan dari Aliansi Semangat Milenial Bergerak, menjelaskan salah satu contoh nyata adalah gerai di Jalan Suryasumantri yang melanggar garis sempadan bangunan dan menggunakan trotoar sebagai area parkir.
‘Mahkamah Agung dalam putusan kasasi Nomor 696 K/TUN/2024 telah menguatkan Surat Keputusan Wali Kota Bandung No. 640/Kep 2522.Diciptabintar/2023 yang memerintahkan pembongkaran bangunan tersebut,” jelasnya saat aksi di depan Kantor Pemkot Bandung, Kamis 20 Maret 2025.
Dirinya menambahkan hingga kini, implementasi kebijakan tersebut belum terlihat nyata.
“Ketidaktegasan pemerintah kota dalam menindak pelanggaran ini mencerminkan lemahnya penegakan hukum tata ruang.
Ironisnya, putusan Mahkamah Agung terkait pelanggaran tata ruang oleh sebuah gerai makanan di Jalan Suryasumantri yang sudah jelas melanggar aturan belum mendapat tindak lanjut yang nyata, ” jelasnya.
Andre melihat, bahwa hal ini menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah kota masih tumpul ke atas dan tajam ke bawah—tegas terhadap usaha kecil, namun ragu menindak bisnis bermodal besar.
“Kondisi ini menimbulkan pertanyaan besar tentang keberpihakan pemerintah kota dalam menciptakan keadilan ekonomi. Seharusnya, aturan ditegakkan secara adil tanpa memandang besar atau kecilnya skala usaha,” paparnya.
Ditegaskannya, bahwa Pemerintah kota perlu menunjukkan ketegasan yang konsisten dalam menertibkan pelanggaran tata ruang, baik oleh perusahaan besar maupun UMKM, dengan tetap mempertimbangkan solusi yang tidak merugikan ekonomi rakyat kecil.
“Jika ketimpangan ini terus dibiarkan, kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah akan semakin luntur. Bandung membutuhkan kebijakan yang berpihak pada keadilan, bukan hanya kepentingan segelintir pihak yang memiliki modal besar, ” pungkasnya.